Manasik Haji Rasulullah, Pada awal setiap putaran thawaf, Jamaah haji atau umrah disunnahkan untuk memberikan penghormatan (Istislam) kearah hajar Aswad di pojok tenggara Ka’bah.
Daftar isi:
Rasulullah mengajarkan tentang 4 cara melakukan Istislam dalam manasik haji tersebut, berikut ini:
- Ketika melakukan umrah untuk pertama kali tahun 7 H, beliau mengecup hajar Aswad.
- Ketika awal penaklukan Mekah, beliau menyentuhkan ujung tongkat ke Hajar aswad dari atas unta.
- Ketika ibadah umrah saat pulang dari perang Hunain, Hajar Aswad beliau mengusap dengan tangan kanan.
- Ketika beliau melaksanakan ibadah haji di tahun 10 H, beliau hanya melambaikan tangannya dari jarak jauh ke arah Hajar Aswad.
Manasik Haji Rasulullah SAW melakukan thawaf sebanyak tujuh putaran. Ummu Salamah (salah satu istri beliau) berthawaf dengan ditandu karena pada saat itu sedang sakit. Setiap melewati Rukun Yamani Rasulullah hanya mengusapnya dengan tangan.
Diantara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, Rasulullah mengucapkan doa ini :
“Robbanaa aatinaa fid duniya hasanah. Wafil aakhiroti hasanah. Waqinaa ‘adzaaban naar (Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat serta peliharalah kami dari adzb neraka).”
Setelah selesai melakukan tujuh putaran, beliau melaksanakan shalat 2 rakaat di belakang Makam Ibrahim, kemudian melanjutkan pergi ke telaga Zamzam. Beliau juga meminum air zamzam dan membasahi kepala beliau.
Sesudah itu Rasulullah menuju ke bukit Shafa untuk memulai melakukan sa’i. Beliau naik ke bukit, lalu menghadap ke Ka’bah, sambil bertakbir 3 kali dan berdoa. Kemudian beliau turun ke lembah menuju Marwa dengan berlari-lari kecil antara Masil dan Bait Aqil (saat ini Masil dan Bait Aqil ditandai dengan lampu hijau).
Sebagai catatan, jarak dari Shafa ke Masil sepanjang 100 meter, dari Masil ke Bait Aqil berjarak 80 meter dan dari Bait Aqil ke Marwa 240 meter). Sesampainya di Marwa Rasulullah SAW melakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan pada saat di bukit Shafa. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah dengan terus bolak balik sebanyak 7 kali.
Setelah selesai Sa’i, Rasulullah di Marwa menginstruksikan sesuatu yang mengejutkan kepada para sahabat karena belum pernah terjadi sebelumnya. Rasulullah memerintahkan seluruh sahabat yang tidak membawa hadyu (hewan qurban) agar mengubah niat ibadah haji menjadi ibadah umrah. Padahal selama ini umrah hanya dilakukan diluar musim haji saja.
Manasik haji, Dengan mengubah niat menjadi umrah, sebagian besar jamaah haji yang tidak membawa hadyu dapat langsung bertahallul (bebas dari larangan ihram). Kemudian berihram lagi untuk haji pada tanggal 8 Dzulhijjah. Karena mereka tidak membawa hadyu dari rumah, tentu pada hari Nahar (10 Dzulhijjah) atau hari-hari Tasyrik (11 – 13 Dzulhijjah) mereka juga harus membeli hewan untuk dijadikan hadyu.
Inilah yang dikenal degan sebutan Haji Tamattu yang artinya “bersenang-senang” sebab masa ihram yang dilaksanakan hanya beberapa hari saja.
Pada awalnya para sahabat merasa ragu untuk melaksanakan perintah Nabi karena manasik haji seperti itu (umrah di musim haji) belum pernah ada. Apalagi Rasulullah sendiri ternyata tidak melakukan tahallul. Melihat keraguan para sahabatnya, Rasulullah bersabda :
“Seandainya aku tidak membawa hadyu, akupun akan mengubah hajiku menjadi umrah. Tetapi aku telah menghadapi urusanku (membawa hadyu) dan tidak dapat mundur lagi sehingga aku tidak akan bertahallul sampai aku menyembelih hadyuku”.
Ada juga para sahabat yang sangat penasaran lalu bertanya : “Tahallul untuk apa saja ya Rasulullah ?”. “Tahallul untuk semuanya“, jawab Nabi. Kemudian Rasulullah menegaskan, ” Telah masuk umrah ke dalam haji untuk selama-lamanya.” Artinya, umrah dapat dikerjakan di musim haji.
Mendengar atas penegasan Rasulullah tersebut, para sahabat yang sebagian besar tidak membawa hadyu akhirnya bertahallul secara massal. Hanya Rasulullah dan sebagian kecil sahabat saja yang tetap berihram sebab mereka membawa hadyu.
Sejak saat itu juga, mulailah dikenal tiga cara Ibadah haji, yaitu :
- Haji Tamattu’ (Bersenang-senang) yaitu melaksanakan ibadah Umrah dulu, baru kemudian ibadah haji. Diperuntukkan bagi mereka yang tidak membawa hadyu dari rumah mereka masing-masing.
- Haji Ifrad (Mandiri) yaitu melakukan ibadah haji dulu baru kemudian melakukan ibadah Umrah. Diperuntukkan bagi penduduk Mekah yang telah membawa hadyu.
- Haji Qiran (Gabungan) yaitu melakukan ibadah haji dan Umrah yang keduanya langsung digabungkan. Diperuntukkan bagi yang bukan penduduk Mekah dan bagu yang membawa hadyu.
Manasik haji, Cara terakhir inilah (Haji Qiran) yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dalam ibadah haji beliau. Hal ini dapat disimpulkan dari fakta bahwa beliau telah membawa hadyu dan setelah selesai melaksanakan ibadah haji tidak lagi melakukan ibadah umrah secara terpisah sampai beliau kembali ke Madinah pada tanggal 14 Dzulhijjah.
Sebenarnya cara Haji Tamattu’ bukanlah merupakan inovasi dari Rasulullah, melainkan memang sudah diperintahkan oleh Allah sebagai keringanan bagi Ummat-Nya. Hal ini sudah berdasarkan atas wahyu yang diturunkan ketika Rasulullah dan rombongan tertahan di Hudaibiyah empat tahun sebelumnya (tahun 6 H). Tetapi baru pada bisa melaksanakan ibadah haji tahun 10 H Rasulullah dengan berkesempatan menerapkannya.
Tentang Haji Tamattu’ itu tercantum dalam QS Al Baqarah ayat 196.
Ketika Rasulullah dan rombongannya berangkat dari Dzulhulaifah, semua berniat haji dan tidak seorangpun yang berniat umrah meskipun sebagian besar tidak membawa hadyu. Sebagaimana dikemukakan oleh Aisyah RA istri Rasulullah dalam hadits :
“Kami keluar bersama Nabi SAW hanya dengan tujuan haji. Ketika kami selesai melakukan thawaf dan sa’i, barulah Rasulullah memerintahkan yang tidak membawa hadyu untuk bertahallul.“
Keterangan yang lebih tegas lagi dari Jabir Bin Abdillah RA sahabat yang paling lengkap dalam bercerita tentang kisah Haji Rasulullah SAW.
“Kami para shahabat Rasulullah SAW bertujuan haji yang murni (khalishan), tidak mencampurkannya dengan Umrah sebab kami tidak mengenal Umrah”.
Maksud Jabir RA sudah tentu adalah tidak mengenal ibadah umrah di musim haji, sebab ketika di Dzulhulaifah, syariat bahwa umrah dapat dilakukan diluar musim haji belum dihapuskan oleh Rasulullah SAW.
Nabi SAW sebagai pemimpin yang sangat arif dan bijaksana menunggu saat yang tepat dalam menerapkan perintah Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 196, agar ummat tidak terkejut atas sistem baru (Haji harus disertai Umrah) yang dibuat . Ketika Rasulullah dan rombongan sedang beristirahat di Sarif pada tanggal 3 Dzulhijjah sebelum masuk Mekah, beliau mulai melakukan sosialisasi sistem baru dengan mengumumkan kepada jamaah haji sebagai berikut
“Barangsiapa yang mau menjadikannya Umrah, jadikanlah hajimu menjadi Umrah”.
Disinilah Rasulullah melalukan himbauan dengan kalimat “siapa yang mau”. Esok harinya tanggal 4 Dzulhijjah tahun 10H (1 Maret 632M) ketika semua jamaah haji dari berbagai penjuru dunia sudah berkumpul di Mekah, serta jamaah telah santai karena sudah selesai melaksanakan Thawaf dan Sa’i, barulah Rasulullah memerintahkan cara Haji Tamattu’ bagi yang tidak membawa Hadyu dan mendekritkan terintegrasinya ibadah Umrah ke dalam ibadah Haji. Hal inipun ternyata menimbulkan suasana yang heboh dikalangan para sahabat, sehingga Rasulullah harus ekstra sabar untuk terus meyakinkan para shahabat yang awalnya enggan meralat niat hajinya menjadi umrah.
Manasik Haji, Dari penjelasan tersebut, untuk jamaah haji yang berasal dari Indonesia yang bukan merupakan pribumi Mekah dan dipastikan tidak membawa hadyu dari rumah, maka tidak ada pilihan lain kecuali melaksanakan perintah Rasulullah SAW untuk mengambil cara Haji Tamattu’. Hal ini berlaku baik bagi jamaah haji yang masuk dalam gelombang pertama (yang ke Madinah dulu) ataupun jamaah haji yang masuk dalam gelombang kedua (yang langsung ke Mekkah).
Dari tanggal 5 – 7 Dzulhijjah (2-4 Maret) Rasulullah SAW melakukan kegiatan ini, yakni : Memimpin shalat di Masjidil Haram, melakukan thawaf sunnah dan shalat sunnah di Hijr Ismail.
Manasik Haji Rasulullah
Meskipun Rasulullah masih dalam keadaan berihram, beliau tetap menyempatkan diri untuk bisa mengunjungi tempat lahir beliau di Suq Al Layl dan berziarah ke makam istri yang sangat beliau cintai yaitu Khadijah Al Kubro RA yang terletak di Ma’la.
Pada Kamis 8 Dzulhijjah (5 Maret), Rasulullah SAW memerintahkan kepada ummat beliau yang memakai cara Tamattu’ kembali harus mengenakan pakaian ihram dan menjauhi larangan-larangan ihram untuk bisa memulai ibadah haji. Mereka yang melakukan cara Ifrad atau Qiran (termasuk Rasulullah sendiri) memang sudah dalam keadaan berihram, karena setelah melakukan thawaf dan sa’i mereka tidak melakukan tahallul.
Pada 8 Dzulhijjah pagi, Rasulullah beserta jamaah haji pergi untuk menuju Mina dalam rangka mempersiapkan air, sebab mulai tanggal 10 Dzulhijjah sesudah pulang dari Arafah mereka akan tinggal di Mina selama beberapa hari saja. Itulah sebabnya tanggal 8 Dzulhijjah disebut hari Tarwiyyah yakni mempersiapkan air.
Pada jaman modern seperti saat ini, meskipun air di Mina sudah berlimpah ruah sehingga jamaah tidak perlu lagi mempersiapkan air di Mina (Tarwiyyah), tetapi sebagian besar Ulama tetap ada yang berpendapat bahwa pergi ke Mina pada 8 Dzulhijjah merupakan salah satu bagian dari sunnah haji. Paling tidak itu perlu dilakukan untuk napak tilas perjalanan haji Nabi pada saat itu.
Pada hari Jum’at 9 Dzulhijjah/6 Maret sesudah matahari terbit, Rasulullah SAW dan seluruh Jamaah haji berangkat menuju ke Arafah. Ketika melalui Muzdalifah, kaum Quraisy berharap agar Rasulullah berhenti sebab selama ini kaum Quraisy selalu berwukuf di Masy’ar Al Haram (Muzdalifah), sedangkan yang berwukuf di Arafah adalah mereka yang bukan termasuk dari kaum Quraisy. Oleh karena itu Rasulullah memerintahkan kepada seluruh jamaah haji tanpa kecuali agar kembali kepada syaria’at Ibrahim untuk melakukan wukuf di Arafah, sesuai dengan firman Allah :
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat orang banyak bertolak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Baqarah 199)
Sebelum masuk ke Arafah, Rasulullah Saw. singgah di Namirah dan ketika masuk waktu shalat dzuhur (pada saat matahari tergelincir ke barat) beliau pergi ke tengah padang Arafah dan berkhotbah sebagai tanda akan dimulainya acara wukuf. Rasulullah menghentikan unta beliau, Al-Qaswa’, disuatu tempat yang tinggi. Disamping beliau berdiri Rabia’ah ibn Umayyah yang mempunyai suara keras dan lantang. Ia ditugasi untuk menyambung suara Nabi agar jelas terdengar oleh puluhan ribu jamaah yang hadir disana.
Sesudah Rasulullah mengucapkan bacaan tahmid dan takbir, memuji dan membesarkan nama Allah,beliau memberikan khotbah yang isinya sebagai berikut:
“Wahai manusia (Ayyuhan-nas), dengarkanlah kata-kataku agar kamu terangkan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak tahu apakah aku masih akan bertemu dengan kamu ditempat wukuf ini. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kamu darah sasamamu dan harta sesamamusampai kamu berjumpa dengan Tuhanmu, seperti haramnya hari ini dan bulan ini. Sesungguhnya kamu pasti akan berjumpa dengan Tuhanmu dan dia pasti akan menanyai kamu tentang segala perbuatanmu.
Wahai manusia, seseorang yang mempunyai hutang hendaklah mengembalikan hutang itu kepada orang yang telah mempercayainya. Segala jenis Riba dihapuskan, dan kamu boleh memiliki kembali modalmu. Janganlah berbuat zalim dan kamu tidak akan dizalimi. Allah telah memutuskan bahwa tidak boleh ada riba lagi, dan riba yang pertama kuhapuskan adalah riba dari Abbas ibn Abdil – Muttalibseluruhnya. Ssemua pertumpahan darah dimasa jahiliyah harus ditinggalkan tanpa balas dendam. Hutang darah yang pertama kuhapuskan adalah darah Rabi’ah ibn Harits ibn Abdil-Muthalib yang dibunuh oleh Hudzail.
Wahai manusia, sesungguhnya setan telah putus asa untuk terus disembah-sembah di negerimu ini. akan tetapi, dia akan puas dengan ditaati dalam hal-hal selain itu, yaitu perbuatan-perbuatan yang kamu sebenarnya tahu bahwa itu salah,tetapi tetap kamu perbuat. Maka, waspadalah terhadap setan dalam hal agamamu. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istri-istrimu dan merekapun mempunyai hak terhadapmu. Bertaqwalah kamu kepada Allah dalam memperlakukan istri-istrimu sebab kamu telah mengambil mereka dengan amanat Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kamu sesuatu, yang jika kamu berpegang teguh kepadanya pasti kamu tidak akan tersesat selama-lamanya,yaitu sesuatu yang terang dan nyata: Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya. sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara,kecuali dia memberikan dengan rela. Sesungguhnya Tuhanmu cuma satu, dan sungguh ayah kamu juga satu. Kamu semua berasal dari Adam, sedangkan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling Taqwa. Tidak ada keutamaan orang Arab dari yang bukan Arab melainkan lantaran Taqwa.”
Di akhir khotbah beliau, Rasulullah SAW bertanya kepada puluhan ribu ummatnya yang ikut serta hadir, ”Wahai manusia, apakah aku telah menyampaikan?“Jemaah haji serempak menjawab,”Benar, telah engkau sampaikan.” Maka Rasulullah mengacungkan tangan beliau kelangit sambil berseru,“Wahai Allah, saksikanlah! Wahai Allah saksikanlah! ” Kemudian Rasulullah menutup khotbah beliau dengan bersabda,” Maka hendaklah yang telah menyaksikan dari padamu menyampaikan kepada yang tidak hadir. Semoga siapa yang menyampaikan akan lebih dalam memperhatikannya daripada yang sekedar mendengarkan. Mudah-mudahan berlimpahlah rahmat dan berkah Allah kepada kamu sekalian.”
Selesai berkhotbah Rasulullah Saw, turun dari unta, lalu memimpin shalat zuhur dan asar secara Jama’ dan qasar. kemudian menuju Sakhrat, batu karang dikaki bukit Jabal Rahmah. disini Rasulullah SAW. menerima wahyu surah Al-Maidah ayat 3: “….hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku lengkapkan untukmu nikmat-Ku dan Aku relakan bagimu Islam sebagai agamamu…”
Ketika Rasulullah SAW. menyampaikan wahyu yang baru saja beliau terima kepada para sahabat, Abu Bakar Shiddiq menangis tersedu-sedu. Umar ibnu Khattab bertanya, “Apa yang kau tangiskan, wahai Abu Bakar? Bukankah kita semua bergembira bahwa agama kita telah sempurna?” Abu Bakar menjawab, ” Tidakkah terpikir olehmu, wahai anak Khattab, hal ini merupakan isyarat bahwa Rasululah mungkin cuma sebentar lagi bersama dengan kita.”
Rasulullah Saw memerintahkan para ummatnya untuk tidak menyia-nyiakan waktu wukuf. “Haji itu di Arafah,” sabda beliau. Sambil menghadap kiblat, Rasulullah dan para sahabat memuji dan mengagungkan Allah, berzikir, berdoa, memohon ampun, membaca ayat-ayat Al-Quran dan memperbanyak talbiyah.
Setelah matahari terbenam, Rasulullah Saw, mengajak para jamaah haji untuk berangkat menuju Muzdalifah ( Masy’ar al-Haram), sesuai dengan firman Allah: ” … Maka ketika kamu bertolak dar Arafah, berzikirlah kepada-Nya sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, sekalipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang yang tidak tahu” (QS Al-Baqarah : 198 )
Rasululullah Saw. mengajak Usamah ibn Zaid untuk duduk di punggung hewan unta Al-Qaswa’. Di zaman jahiliyah sudah menjadi suatu kebiasaan untuk sesegera mungkin meninggalkan Arafah dengan berlari, maka Rasulullah melarang cara yang tergopoh-gopoh ini. ” Tenang-tenang, sebagaimana tenangnya jiwa. hendaklah yang kuat diantaramu membantu dan menagawasi yang lemah,” demikian sabda beliau.
Sesampainya beliau di Muzdalifah, Rasulullah Saw. dan rombongan menunaikan shalat maghrib dan isya secara berjamaah di Muzdalifah. Tetapi beliau juga mengijinkan orang-orang yang lemah, wanita, anak-anak berangkat ke Mina sesudah tengah malam. Hal ini bertujuan agar dapat melontar jumrah sebelum massa datang membanjiri Mina ini.
Sawdah istri Nabi yang memiliki badan yang gemuk, memohon ijin untuk pergi ke Mina pada malam itu juga sebab tubuhnya sudah tidak kuat lagi berdesak-desakkan. Rasulullah Saw mengijinkan dan mengirimkan Sawdah bersama Ummu Sulaim dengan ditemani oleh sepupu Rasul yang masih sangat remaja, Abdullah ibn Abbas ibn Abdil Muthalib. Di kemudian hari, Abdullah Ibnu Abbas (nama populernya Ibnu Abbas) menjadi salah seorang perawi hadits yang termasyur.
Sesudah melakukan Shalat subuh di Muzdalifah, Rasulullah Saw. Kembali memimpin jamaah haji menuju Mina. Kini yang beliau ajak membonceng dipunggung Al-Qiswa’ adalah sepupu beliau Fadhil Ibnu Abbas (kakaknya Abdulah). Ketika melewati lembah Muhassir, Rasulullah memerintahkan kepada para jamaah haji untuk mempercepat langkah jamaah haji seraya bersabda,” Bersegeralah melewati Muhassir sebab di lembah ini ashabul-fil ( pasukan gajah) Abrahah dimusnahkan burung Ababil.”
Pada hari Sabtu, 10 Zulhijah( 7 maret ), pagi hari Rasulullah Saw. Telah sampai di Mina. Beliau tidak mampir lagi di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha, melainkan langsung menuju ke jumrah Aqabah. Tepat sebelas tahun sebelumnya, pada musim haji tahun 621 (setahun sebelum Hijrah) di bukit Aqabah, persis diatas Jumrah, Rasulullah menerima ikrar sumpah setia dari para wakil masyarakat anshar (suku Aws dan Khazraj) yang telah mengundang beliau untuk dapat berhijrah ke kota mereka, Yatsrib atau Madinah.
Berbeda dengan Jumrah Ula dan Jumrah Wustha yang terletak dilapangan yang terbuka, Jumrah Aqabah terletak pada kaki bukit. Itulah sebabnya untuk penampung batu lontaran di Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berbentuk lingkaran, sedangkan diJumrah Aqabah hanya setengah lingkaran karena terhalang cadas bukit. Di kemudian hari, meskipun bukit aqabah sudah di sama ratakan dengan tanah, ummat Islam “tidak berani” menjadikan penampung batu lontaran di Jumrah Aqabah sebagai lingkaran penuh seperti dua jumrah yang lain, mungkin karena takut dianggap bid’ah.
Pada tanggal 10 Zulhijah itu Rasulullah Saw mengadakan berbagai manasik haji dengan urutan sebagai berikut : Rasulullah melontar Jumrah Aqabah dengan batu kerikil sebanyak 7 kali, dan beliau bertakbir pada setiap lontaran. Inilah perlambang usaha penolakan secara maksimal terhadap godaan syetan yang terkutuk. Sesudah melontar beliau berdoa,” Allahumma j’alhu hajjan mabruran wa sa’yan masykuran wa dzanban maghfura”. (ya Allah, jadikanlah manasik ini membuahkan haji yang bermutu,asaha yang diterima, dan dosa yang terampuni).
Kemudian Rasulullah melakukan penyembelihan hadyu sebanyak 63 ekor unta dengan menggunakan tangan beliau sendiri, lalu sisanya yang 37 ekor di sembelih oleh Ali ibn Abi Thalib. Sesudah itu Rasulullah Saw. melakukan tahallul dengan menyuruh Khirasy, yang pernah mencukur kepala beliau ketika umrah tahun 7 Hijriah. Saat mengharukan ketika Rasulullah dicukur, Khalid ibn Walid dan Suhail ibn Amr memunguti rambut-rambut beliau yang jatuh, lalu mengusapkan rambut-rambut itu ke wajah mereka sambil menangis karena menyesali perbuatan mereka sebelum masuk Islam.
Selanjutnya, Rasulullah SAW pergi ke Mekkah untuk melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Setelah shalat zuhur, beliau kembali ke Mina. Oleh karena itu Rasulullah mengambil cara haji Qiran (haji dan umrah digabungkan), tanggal 10 Dzulhijjah itu beliau tidak melakukan sa’i, karena beliau sa’i cukup satu kali saja pada tanggal 4 dzulhijjah yang sudah mencakup sa’i haji dan umrah. Tetapi sebagian besar sahabat melakukan sa’i tanggal 10 Dzulhijjah atau sesudahnya karena mereka mengambil cara Haji Tamattu’ sesuai perintah Rasulullah SAW.
Inilah sa’i haji bagi para sahabat yang Tamattu’ sebab sa’i mereka tanggal 4 Dzulhijjah adalah sa’i umrah saja dan belum sa’i haji.
Rasulullah SAW memberikan kelonggaran kepada jamaah haji untuk melakukan manasik haji dengan urutan yang berbeda-beda. Melontar jumrah, menyembelih hadyu, mencukur atau menggunting rambut, serta tawwaf dan sa’i boleh dilakukan secara tidak berurutan. Para jamaah haji boleh mendahulukan mana yang sempat dan mudah dikerjakan lebih dulu. Bahkan manasik-manasik di atas tidak harus semuanya terlaksana pada hari Nahar (10 Dzulhijjah).
Penyembelihan hadyu boleh dilakukan pada hari-hari tasyrik (11 – 13 Dzulhijjah). Tawwaf dan sa’i boleh dilakukan pada hari-hari tasyriq. Boleh juga dilakukan setelah jamaah pulang dari Mina asalkan masih dalam bulan Dzulhijjah. Juga boleh dilakukan urutan seperti ini : Dari Muzdalifah jamaah haji langsung ke Mekkah melakukan tawwaf dan sa’i, lalu tahallul mencukur atau menggunting rambut di Marwa, kemudian baru ke Mina untuk melompar Jumrah atau menyembelih hadyu. “Kerjakan saja, tidak apa-apa .. (If’al, laa haraj) “. Demikian selalu jawaban Rasulullah SAW ketika beliau ditanya oleh para jamaah mengenai urutan manasik-manasik di atas.
Apapun urutan manasik haji yang dipilih oleh jamaah haji, Rasulullah menginstruksikan kepada jamaah haji untuk menginap di Mina pada malam-malam hari Tasyriq, kecuali bagi mereka yang karena kesibukannya tidak dapat menginap di Mina. Rasulullah mengizinkan Manasik Haji Paman beliau Abbas Bin Abdul Muthallib bermalam di Mekkah untuk mengelola Siqayah (air Zamzam untuk jamaah haji). Demikian pula para gembala yang harus menjaga ternak mereka di malam hari diberi izin oleh Rasulullah untuk tidak menginap di Mina.
Manasik haji, Pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah, sesudah masuk waktu zuhur, Rasulullah SAW dan para jamaah haji melontar masing-masing tujuh lontaran secara berturut-turut Jumlah Ula, Jumrah Wustha dan akhirnya Jumrah Aqabah. Rasulullah memberikan kelonggaran bagi yang tidak sempat melontar jumrah pada siang hari untuk melakukannya di malam hari. Untuk orang yang sakit, lanjut usia, lemah atau wanita hamil, pelontaran boleh diwakilkan kepada orang lain.
Manasik haji khusus, Dimasa jahiliyyah, kaum musyrikin Quraisy menggunakan waktu luang di Mina untuk saling membanggakan silsilah keturunan dan kehebatan nenek moyang masing-masing. Rasulullah SAW melarang kebiasaan takabbur ini dan menggantinya dengan dzikir kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah :
“Maka ketika kamu telah menunaikan ibadah hajimu, berdzikirlah kepada Allah seperti berdziki nenek moyang kamu, bahkan harus lebih hebat dzikirnya. ” (QS Al Baqarah 203)
Manasik Haji, Jadi pada tanggal 12 Dzulhijjah sore hari jamaah haji boleh melakukan Nafar Awal (pulang duluan) untuk meninggalkan Mina pulang ke Mekah. Mereka yang ingin melakukan Nafar Awal harus sudah berada di luar Mina sebelum maghrib tiba. Jika pada saat maghrib masih di Mina, mereka harus mengambil Nafar Tsani (pulang pada rombongan kedua), yaitu harus bermalam di Mina dan melontar lagi sebanyak 3 jumrah pada tanggal 13 Dzulhijjah. Setelah itu, jamaah pulang ke Mekah. Sebagian sahabat memilih melakukan Nafal Awal dan sebagian lagi memilih Nafar Tsani. Adapun Rasulullah SAW melakukan Nafar Tsani, pulang ke Mekah pada tanggal 13 Dzulhijjah.
Manasik Haji, Pada malam 14 Dzulhijjah Rasulullah menyuruh istri beliau Aisyah yang sudah selesai masa haidnya untuk menunaikan Um rah. “Inilah pengganti Umrahmu yang gagal,” sabda Nabi. Aisyah kembali berihram dari Tan’im dengan ditemani adiknya Abdurrahman Bin abu Bakar. lalu mereka melakukan thawaf dan sa’i hingga bertahallul di Marwa. Pengalaman Aisyah yang melakukan haji Ifrad (haji dulu baru Umrah) hingga kini dijadikan dasar oleh para ulama dikemudian hari untuk membolehkan haji ifrad bagi yang bukan penduduk Mekah dan tidak membawa hadyu.
Manasik haji, Pengalaman Abdurrahman Bin Abu bakar yang telah melakukan Umrah lagi, dijadikan sebagai dasar untuk melakukan umrah sunnah di musim haji dengan berihram dari Tan’im. Tetapi ada juga ulama yang berpendapat bahwa jamaah yang tidak membawa hadyu harus melakukan haji Tamattu’ sesuai dengan perintah Rasul. Aisyah sendiri juga melakukan Ifrad karena sedang haidh, serta ibadah umrah sunnah di musim haji tidak dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Umrahnya Abdurrahman Bin Abu Bakar karena menemani kakaknya Aisyah. Wallahu a’lam.
Sesudah melaksanakan shalat subuh hari Rabu 14 Dzulhijjah (11 Maret), Rasulullah SAW dengan istri-istri beliau kecuali Safiyah yang mengalami haidh selama dua hari sebelumnya, melakukan thawaf wada’, lalu mereka kembali lagi ke Madinah. Rasulullah tidak dapat berlama-lama di Mekah setelah manasik haji sebab pekerjaan beliau sebagai kepala negara harus segera beliau selesaikan karena itu sudah menjadi tanggung jawab-Nya. Kemudian tiga bulan setelah itu pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 H (8 Juni 632 M) Rasulullah berpulang ke rahmatullah.